January 14, 2018

Perasaan Sedih Janganlah Kau Bimbang


Apabila resah menari nari di jari, jiwa kusut membutuhkan antibiok bagi menutup luka yang membiru dek kemalangan langkah tika memilih simpang ke destinasi yang hendak dituju. Aku memeluk wanita yang aku sayangi di rumah sambil membelai rambut, mencurah ketidakadilan yang sedang menoreh nadiku secara perlahan lahan.

Wanita dalam pelukan itu tetap setia dalam pelukan, malah meminjamkan derianya. Aku terus menerus mencanang ketidakadilan yang berlaku. Makin lama api semakin membara, makin itu juga perbaraan itu menjadi abu yang sia sia.

Aku keras. Aku kasar. Aku tidak lagi menemui diriku sendiri ketika berbicara. Setiap patah, ada saja perkataan untuk dibetah. Ini adalah ego yang dilatih semasa menempa di puncak menara ilmu. Sangat keras sehingga menghadirkan kata rasional yang tidak rasional. Rasional, angka serta fakta menjadi pegangan tetapi sungguh rintik hujan kau tidak boleh mengira, apatah lagi bebanan rasa setelah terbau harum mawar di kamar, tempat kita mencurah kasih tak lama dulu.

Aku sakit, terpuruk rasa ingin mati tetapi masih mahu hidup untuk 1000 tahun lagi. Aku yakin, perjuanganku masih belum selesai. Saat ini, aku lumpuh dan hanya mampu membiarkan ulat sampah memakan diriku yang semakin hari semakin membusuk. Aku memandang tempat beradu, meminta simpati mawar mawar yang telah kering pernah aku taburkan dulu menghulur sebarang ruang untuk menarik aku keluar dari keadaan yang cemas ini.

Aku rindu. Aku rindukan pada ambisi yang aku tidak tahu ia akan padam untuk sekian sekian waktu kemudian. Kata orang, "jadilah engkau milikku selalu." Sayangnya, di mana kamu sekarang? Langsung tidak membenarkan aku bertanya tentang itu ini lagi. Membiarkan aku diselimuti sepi dalam kedinginan perjuangan sendiri.

Lalu, mati.

Sejenak, sekurangnya masih ada yang sayang.

No comments:

Post a Comment